Dulu, waktu belum dinyatakan lulus SBMPTN, gue mohon-mohon ke Tuhan supaya Dia mau meluluskan gue dalam seleksi. Biar gue keterima di PTN dan bisa kuliah tahun ini. Simple, sih, alasannya, biar biaya kuliahnya murah. Ya ... lo tau sendirilah betapa gilanya biaya kuliah swasta di Indonesia. Pengen jual ginjal aja rasanya. Balik lagi ke topik, gue mendapatkan hasil yang baik dan sesuai dengan apa yang gue butuhkan. Gue lulus. And now, here I'am. Menjadi seorang mahasiswa baru di universitas pilihan kedua gue.
Honestly, pas gue buka pengumuman SBMPTN dan dinyatakan lulus di pilihan kedua, gue sama sekali nggak ngerasa senang, bangga, apalagi sampai jingkrak-jingkrak. Iya, gue se-nggak senang itu. Alasannya cuma satu, sih, universitas pilihan kedua itu kurang prestis di mata gue.
Kesannya sombong nggak, sih? Menurut gue, sih, iya. Itu pemikiran sombong yang pernah gue punya. Nggak ada tuh kalimat lain yang keluar dari mulut gue selain "Alhamdulillah" dengan nada dan raut wajah yang super biasa. Meskipun mama sama bapak gue terus mengucap syukur dan memberikan kalimat apresiasi ke gue, tapi rasa senang itu sama sekali nggak sampai ke hati gue.
Tau nggak gue mikir apa pas keterima di kampus itu?
"Emang lingkungan di sana sanggup bikin gue jadi individu yang lebih kompeten? Universitasnya aja nggak masuk 10 besar di jajaran PTN favorit."
Gila, kan? Emang. Gue benar-benar se-nggak tau bersyukur itu.
Lalu, pada detik yang sama saat gue buka pengumuman, ada satu perasaan yang pada akhirnya berhasil bikin gue mau menjalani ini. Rasa tenang. Benar-benar tenang. Cuma itu yang gue rasain pas liat tombol hijau di laman pengumuman LTMPT. Ah, nggak bisa didebat deh rasa tenangnya.
Kurang lebih, dua bulan sebelum pengumuman hasil SBMPTN, gue diterima kerja di bank. Jadi teller. Itu pun cuma 6 hari karena gue memutuskan untuk cabut dan lanjutin sekolah. Padahal kalau boleh jujur, tiap kali ditanya 'udah gede mau jadi apa?' sama orang-orang, jawaban gue selalu sama, 'mau jadi pegawai bank, biar banyak uang terus hidup makmur.' Giliran udah keterima, malah keluar. But I have to clarified bahwa keputusan itu tidak datang dari rasa tidak bersyukur, melainkan dari besarnya keyakinan gue untuk dapat hasil yang baik di hari-h pengumuman SBMPTN nanti.
Awalnya, keputusan gue untuk keluar dari pekerjaan itu mendapat penolakan. Jadi bahan perdebatan orang serumah karena dianggap terlalu gegabah. Kalau dipikir-pikir, emang benar, sih. Keputusan gue itu terkesan terlalu gegabah. Karena bisa-bisanya gue mutusin hal yang bahkan plan B gue belum tentu bisa terealisasikan atau nggak. Jadi sangat wajar kalau orangtua dan abang gue marah, bahkan nggak mendukung keputusan itu. But at that time, I'm pretty sure with my own decision. I don't know why. I just believe in His will. Karena kalau Dia udah berkehendak, mau segila apapun kedengarannya, hal itu bisa terjadi. Dan gue sangat-sangat percaya.
Tepat satu hari sebelum hari-h pengunduran diri, bapak ngajak gue ngobrol serius. Dia nanya-nanya tentang banyak hal yang berkaitan dengan keputusan gue untuk keluar dari kerjaan. Beruntungnya, suasana hati bapak gue waktu itu lagi bagus, jadi dia bisa berlogika dan menerima dengan baik saat dengar penjelasan gue. Bersyukurnya, beliau memberi gue kebebasan untuk memutuskan dengan catatan; "Jangan nyesal keluar kerja kalau nanti hasil SBMPTN-nya nggak sesuai harapan. Karena ini pilihan kamu." Gitu katanya. Dan tentu aja gue iya-in dengan mantap. Meski sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, gue juga agak takut kalau apa yang gue khawatirkan akan terjadi. Bisa jadi bahan bulan-bulanan keluarga besar kalau gitu.
Terus, entah kenapa waktu berasa cepat banget dan gue pun tiba di hari Senin. Selepas ngelayanin stor tunai berjuta-juta dan pembayaran pajak, gue dipanggil Head Teller untuk ngobrolin kelanjutan kontrak kerja. Dan saat itu pula, hati gue makin mantap buat keluar alias mengundurkan diri.
Apa gue kena marah Head Teller? Jelas. Gue kena damprat, hahahaha. But it's okay. I feel better then.
Setelah jam kerja berakhir, ngelakuin rutinitas cash count, dan bikin laporan keuangan, gue pergi dari kantor. Jam pulang gue tetap kayak biasa kok pas waktu itu. Karena gue nggak mau keputusan gue ini diketahui orang sekantor. Ya ... walaupun pas besoknya berita itu mungkin bakal langsung nyebar. Tapi nggak apa-apa, at least, gue udah nggak ada di sana pas berita itu meluas dari mulut ke mulut. Nggak salah kan jadi egois dikit?
Resmi mengundurkan diri, gue mulai fokus ngerjain project yang sempat tertunda. Project receh buat orang, but it means a lot for me. Sehari-hari kerjaan gue repatitif, tapi kerasa sibuk banget karena waktu yang gue pakai untuk ngerjain itu kebilang cukup panjang. Gue riset soal kasus-kasus medis yang pusingnya naudzubillah demi meminimalisir kesalahan fatal, gue nulis setiap hari, nyusuk plot supaya alurnya lebih terperinci, and I do it everyday until I'm done. Cerita berjudul GAMMA selesai ditulis dan project video pendek bernarasi puitis itu bisa kelar gue kerjain.
Senang? Iyalah. Karena gue bukan cuma menyelesaikan 2 project itu, tapi gue juga jadi bisa ngedit video di Premiere Pro, hehehe. Receh, sih. Tapi seriusan, gue senang.
Sampai akhirnya, waktu pengumuman pun tiba dan gue mendapat hasil yang udah dibahas di awal. Mungkin, ketimbang ngerasa senang atau proud dengan hasilnya, gue lebih ngerasa bersyukur dengan apa yang udah gue lalui. Tentang proses panjang yang udah gue jalani dan perjuangan gue sebagai 'Annisa Sausan Shalvana' yang selalu berani dalam mengambil keputusan. Sebesar apapun itu, se-nggak pasti apapun itu. Gue cuma modal usaha, doa, dan yakin untuk sampai ke sini.
Gue emang BELUM mendapatkan apa yang gue mau, tapi gue nggak akan berhenti. Kenapa? Karena gue masih punya kesempatan untuk berusaha dan mencoba. Gue masih punya waktu buat ngelakuin yang terbaik dan kembali memperjuangkan apa yang ingin gue dapat, meski gue nggak tau hasilnya bakal kayak apaan nanti. Gue percaya kalau apa yang gue lakuin ini nggak salah cause I'm in a right way. Dan gue yakin, Tuhan akan selalu mendampingi langkah-langkah gue ke depan. Gue percaya bahwa apa yang akan gue jalani ini adalah salah satu dari ketentuan-Nya yang nggak mau lagi gue sebut sebagai sebuah kebetulan. Gue 100% mempercayai kuasa-Nya yang selalu penuh kejutan untuk kasih yang terbaik bagi setiap orang yang meminta dan memohon pada-Nya.
So, I'll start again. Because I don't know when to quit, especially on my dream.
Komentar
Posting Komentar