Jika gue bisa memilih untuk hidup jadi orang kaya atau sederhana, gue pasti akan milih untuk terlahir di keluarga kaya raya. Karena dengan begitu, uang di rekening gue bisa terisi setiap bulan berkat ditransferin ortu. Dan yang pasti, gue nggak perlu merasa khawatir bakalan kena masa galau gara-gara dompet kosong berisi struk pembayaran. Gue juga bisa minta apa aja ke orangtua supaya mereka mau nurutin apapun yang gue mau, termasuk buat belajar ke luar negeri.
Kalau gue dikasih hidup sebagai orang yang bergelimang harta, nggak lain dan nggak bukan, udah pasti uang itu gue pakai untuk sekolah. Entah itu belajar bahasa di masing-masing negara yang bahasanya ingin gue pelajari, mengikuti berbagai kegiatan pertukaran pemuda ke negara lainnya, atau sekadar jalan-jalan buat menuhin paspor dengan Visa Schengen. Ya intinya, gue mau supaya kelebihan materi itu bisa gue manfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri gue sebagai perempuan. Setelah gue selesai membekali diri dengan kualitas dan juga ngasih makan kepala dengan ilmu, baru deh gue berbagi apa yang gue punya; ilmu, pengalaman, rezeki, dan kebahagiaan.
Meskipun daritadi gue berandai-andai menjadi anak orang kaya, tapi gue nggak nyesel dengan kehidupan gue saat ini. Kenapa? Karena hidup gue yang sekarang udah berhasil ngajarin gue banyak banget pelajaran hidup. Sebagai orang yang standar ekonominya berada di kategori menengah tapi nggak ke bawah ataupun ke atas, dan belum pernah menghabiskan uang lebih dari 70 ribu setiap kali main sama teman-teman, gue jadi paham bahwa hidup itu perlu prihatin. Supaya bisa menghargai sesuatu yang dimiliki dan memakainya dengan bijak. Karena kehidupan penuh prihatin ini juga, gue jadi ngerti sama berbagai hal yang pada akhirnya bisa mendewasakan gue dalam berpikir. Gue jadi lebih bisa menghargai setiap peser uang uang yang orangtua gue kasih dan gue bisa melihat gimana kerasnya usaha mereka buat menafkahi keluarga ini.
Gue pernah tinggal terpisah dari keluarga untuk keperluan PKL (Praktik Kerja Lapangan) selama 6 bulan. Emang sih, gue tinggal di rumah kakek, tapi...ya gitu deh. Tinggal di sana itu berasa jadi anak kos. Semuanya gue kerjain sendiri, bahkan di saat itu juga gue baru ngerasain gimana rasanya sakit dan nggak ada yang ngurus. Biasanya kan kalau sakit, emak gue selalu nganterin gue ke puskesmas supaya gue bisa mendapatkan penanganan medis yang cukup dan dirawat sebaik mungkin agar gue cepat sembuh. Tapi, saat gue tinggal di rumah kakek, gue nggak ngerasain itu. Waktu sakit, gue didiemin, orang-orang di sana pas gue mintain tolong buat nganter ke dokter benar-benar susah, belum lagi orang kantor yang terus-terusan nyinyir dan mengancam potong gaji kalau gue nggak bisa ngasih surat dokter karena mereka pikir gue pura-pura sakit. That's really a hard days for me actually. Nggak ada satu pun manusia yang bisa gue percaya selain diri sendiri, sampai akhirnya gue menyadari kenikmatan serta peran sebuah sejadah untuk dipakai bersujud pada Tuhan. Untuk pertama kalinya, gue bisa realized betapa sayangnya Allah ke hamba-Nya. Dan itu menjadi one point of my spiritual journey.
Intinya, hari-hari yang gue jalani selama 6 bulan masa PKL adalah masa-masa terberat. Mungkin karena di sana gue benar-benar dicemplungin, makanya, mau nggak mau, bisa nggak bisa, harus tetap jalan. Orang-orang di tempat kerja nggak mau tau, bahkan ogah buat dengerin penjelasan gue. Berasa benar-benar ngerasain jadi orang hidup deh.
Meskipun dari tadi gue bilang bahwa itu adalah 6 bulan terberat, bahkan jadi masa tersulit, tapi gue ketagihan untuk tinggal jauh dari keluarga lagi. Bukan karena gue suka hidup sulit, tapi karena gue suka dengan keadaan yang memaksa gue untuk 100% functional dengan baik. Gue suka ketika diri gue bisa mengurus segala sesuatu. Gue juga senang banget ketika Tuhan menempatkan gue di situasi yang benar-benar mampu mendewasakan gue secara Islam. Gimana nggak? Hidup sendiri di tengah orang 'asing' membuat gue harus terus berpegang pada Pencipta, supaya gue nggak salah arah ketika masalah yang jumlahnya bejibun menimpa hidup. Jadi, mau nggak mau gue harus membiasakan tangan ini menengadah lebih lama, bersujud lebih tulus, dan hidup lebih kuat. That's all.
Selama 18 tahun gue hidup, Tuhan memberi gue kesempatan beberapa bulan untuk ngerasain gimana hidup yang sebenarnya berjalan. Membuat gue terbangun dari tidur panjang yang kebanyakan mimpi. Menyadarkan gue bahwa hidup itu nggak butuh sekadar kata-kata. Dan Membantu gue untuk menjalani hidup yang lebih realistis dari sebelumnya.

Komentar
Posting Komentar