Usia gue udah menginjak angka 18 tahun. Dan Alhamdulillah gue udah lulus.Seneng sih, soalnya gue nggak usah mikirin tugas yang memusingkan dari guru produktif, atau jantungan di kelas karena tiba-tiba ada ulangan dalam keadaan belum belajar. Ya intinya, untuk beberapa saat, gue nggak akan ngerasain itu dulu. Nggak tau tuh kalo nanti gue keterima kuliah, mungkin beda cerita.
Selain perasaan senang karena bebas dari tugas, gue juga senang karena ternyata Tuhan semakin menyaring lingkaran pertemanan gue (walaupun caranya nggak enak sih). Akhir-akhir ini, Tuhan menyadarkan dan mulai menunjukkan beberapa hal yang membuat gue sadar tentang beberapa orang yang dulunya adalah teman dekat, tapi sekarang satu persatu hilang gitu aja. Dan hilangnya tuh benar-benar kayak ditelan bumi, gue nggak tau kabarnya begimana, udah gitu kalau gue tanya, responnya nggak enak banget. Lo ngerti nggak sih gimana rasanya ketika teman yang dulunya deket BANGET, sekarang malah ngelangkah pergi ninggalin lo? Yang dulunya dia itu bisa menjadi tempat bercerita tentang banyak hal, tapi sekarang boro-boro mau cerita, gue tanya kabar aja jawabannya kayak yang nggak mau ngewaro. Awalnya gue mencoba mengintrospeksi diri. Apakah gue yang terlalu sering nanyain kabar? Gue yang memulai kecanggungan keadaan? Gue yang mungkin nggak bisa membantu 'teman-teman' (?) lagi? Atau mungkin gue udah nggak bisa ngeladenin cerita-cerita galau 'teman' (?) gue lagi?
Di mata gue, pertemanan tuh bukan sesuatu yang bisa dibercandain. Bukan juga sesuatu yang diperlakuin seperti barang (kalo butuh beli, masih butuh ya disimpen, terus kalo udah nggak butuh dibuang). Lucu sih, masih ada orang yang memperlakukan teman dengan cara itu.
Teman. Gue pribadi nggak mengartikan pertemanan sebagai orang-orang yang kudu ngasih kabar terus-terusan. Dan bukan juga orang yang mesti banget ditanyain kabarnya berkali-kali dalam kurun waktu yang singkat. Bosen kali nanya mulu kabar? Baru ketemu udah nanyain kabar lagi, kayak yang nggak ketemu bertahun-tahun aja. Gue juga bakal merasa risih kalau berada di posisi di mana teman gue bolak balik nanya kabar, ngajak ngobrol ketika nggak ada yang bisa diobrolin, atau bahkan mengulang obrolan yang membosankan. Jujur, gue nggak pernah merasa nyaman dengan keberadaan orang yang selalu ada, ini khusus teman ya, kalau keluarga beda lagi. Gue juga bingung sama orang yang ngerasa 'deket' hanya karena PERNAH bercerita sesuatu, dan langsung nganggap gue sebagai sosok yang nggak peduli ketika gue nggak ngajakin dia ngobrol lagi, atau nggak nyeritain hal lain ke dia lagi. Karena, kalau gue nggak ngerasa nyaman for having conversation sama tuh orang, ya gue juga nggak bakalan cerita apapun, even dia udah ngerasa jadi orang paling deket, kalau orangnya nggak ngerasa deket, gimana?
Gue merenungi pertanyaan-pertanyaan yang tadi gue sebut;
1. Apakah gue yang terlalu sering nanyain kabar?
Gue nggak ngerasa kalau gue ini 'sering' nanyain kabar ke teman. Karena ya ngapain gue tanya sering-sering? Gue nanya kabar temen aja bisa dihitung jari selama berteman sama mereka. Bukan karena gue nggak peduli dengan keadaan mereka, tapi gue juga melihat keadaannya dari sisi lain yang selalu gue perhatiin. Lagipula, gue ini bukan tipikal orang yang hobinya nanya kabar, tapi sebenarnya nggak mau tau kabar. Gue nggak sanggup berbasa-basi seperti itu, apalagi ke teman.
2. Gue yang memulai kecanggungan keadaan?
Ini adalah pertanyaan yang membingungkan yang pernah diajuin dari diri gue, dan untuk gue jawab. Bikin canggung? Gue nggak bisa relate dengan keadaan apapun. Mungkin iya, dulu gue terlihat seperti orang dingin dan nggak bisa diajak bercanda. Tapi sebenarnya, kepribadian gue ini nggak seserius itu kok. Di rumah atau bahkan dengan sahabat, gue selalu menjadi orang yang mencairkan suasana, dan selalu dibilang tukang lawak. Di sisi lain, gue nggak bisa membenarnkan sikap gue yang ternyata emang hobi bercanda, karena bisa jadi, kecanggungan sekarang itu karena bercandaan gue yang nggak lucu dan malah bikin sakit hati mereka. Kalau begitu adanya, gue minta maaf.
3. Gue yang nggak bisa membantu 'teman-teman' (?)
Soal membantu, ini tergantung dengan kemampuan gue. Gue bukan tipikal orang yang bakalan maksain membantu kalau gue sendiri pun nggak bisa nge-handle masalah itu di hidup gue. Tapi gue bakalan berusaha semaksimal mungkin buat bantu, walaupun hanya sebagai pendengar setia.
Rasanya, gue pernah berada pada posisi di mana gue jadi nggak deket lagi sama seorang teman, hanya karena gue nggak bisa bantu. Jadi misalnya, kalau ada tugas, terus dia cerita soal kendala-kendalanya, gue cuma bisa ngasih saran yang sekiranya bisa dia pakai. Dan mungkin, karena dia ngerasa percuma untuk cerita kesulitannya tentang ini dan itu, dia jadi bersikap agak beda. Yang gue perhatiin, dia udah nemuin orang lain yang bisa membantunya secara maksimal. Misalnya pas dia lagi butuh untuk bikin suatu file tugas, dan dapet kendala teknis, ada orang lain yang mau ngerjain tugasnya itu secara penuh sehingga dia bisa terima bersih. Awalnya gue nggak begitu peduli sama hal itu. Tapi setelah beberapa waktu terakhir yang gue lalui bersama teman-teman lainnya (termasuk dia), hal yang gue perhatiin tuh emang begitu adanya. Semua prasangka gue jadi benar-benar terjadi pada persahabatan gue dengan dia. Terlihat di pertemuan terakhir di tengah pandemi, gue sama dia nggak ngobrol tentang apapun. Nggak seheboh dulu pas masih sekolah, di mana kalau udah kelar libur semester, terus ketemu di kelas tuh langsung excited meluk saking kangennya. Sayang banget, hal itu udah nggak terjadi lagi di pertemuan kemarin.
Dari kejadian ini, gue sadar akan satu hal. Ternyata nggak semua sahabat bakalan selamanya nganggap sahabatnya ini sebagai seorang sahabat, kalau dirasa tidak bisa membantu. Jadi, kalau yang namanya sahabat itu harus SELALU bisa membantu ya? Terus kalau nggak bisa bantu, di blakclist sebagai sahabat dong? Hm, mungkin iya, bagi beberapa orang. Tapi gue nggak gitu. Karena gue tau, setiap orang punya batas kemampuannya masing-masing. Dan gue sebagai manusia, nggak bisa dong maksain sahabat gue untuk selalu bisa membantu kesusahan gue. Mereka pun punya urusannya masing-masing, ada banyak tanggung jawab yang harus mereka jalani selain cuma ngebantuin gue. Bisa jadi juga, dengan ketidakmampuannya untuk membantu masalah gue, dia lagi berusaha bangkit dari kesusahannya sendiri supaya bisa bantu orang lain lagi, termasuk gue sebagai sahabatnya.
4. Mungkin gue udah nggak bisa menjadi pendengar yang baik buat dijejelin argumen patah hati?
Kebetulan, gue punya seorang sohib cowok yang kerjanya galauin soal hati mulu. Sebelum persoalan patah hati melanda doi, kita emang nggak akur karena masalah pribadi. Terus tiba-tiba dia dateng dengan 'tergopoh-gopoh' (lebay, maap). Ceritalah dia tentang semua yang terjadi sampe akhirnya dia galau dengan awet. Oke, yang menjadi fokus gue bukanlah cerita galaunya, tapi sikap dia setelah cerita. Itu yang lucu. Jadi, ketika dia udah kelar cerita dengan cara bolak balik dateng ke rumah, dia tiba-tiba hilang seperti ditelan bumi. Terus pernah gue mau nanya sesuatu, tapi jawabannya nggak enak banget, udah mah balesnya cuma 'wkwk' (padahal gue nggak lagi bercanda). Sumpah ya, 'wkwk' itu adalah balasan paling nggak nyambung yang gue terima ketika nanya soal hal yang nggak ada unsur 'lawak' dan unsur lainnya yang harus diketawain. Walaupun gue tau, 'wkwk' itu bukanlah salah satu ekspresi tertawa kalau lagi chat. Yang menurut gue lucu adalah sikapnya. Pas dia butuh telinga gue buat ngedengerin curhatannya, gue kudu banget menyanggupi. Giliran gue yang butuh dibantu sama dia? Boro-boro ngasih tau apa yang gue minta bantu, pas gue baru manggil namanya lewat chat aja, balasannya udah kayak yang ogah ngewaro. Udah gitu balesnya singkat-singkat lagi (biasanya juga gapernah). Dan yang paling bikin gue sebel adalah ketika gue mencoba buat mengutarakan masalah, dia malah bales 'wkwk' doang. How funny you are, dude.
Well, gue sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi nilai pertemanan, masih agak sebel ketika mendapati orang-orang yang perlakuin teman, kayak alat/ barang. Gue juga sebel dengan keberadaan teman yang berlebihan dalam hal menghubungi. Gue juga sampai detik ini masih nggak ngerti dengan kata Sebutuhnya. Karena siapa yang tau tentang kapan kita butuh atau nggak butuh? Teman-teman harus nerawang, gitu? Supaya bisa memprediksi; Oh, besok dia bakalan butuh aku. Jadi aku harus luangin waktu. Gitu? Iya? Nggak kan. Ya beda cerita kalau lo emang benar-benar minta bantuan secara verbal maupun lisan, tapi nggak diwaro sama sekali, ya harap sabar aja.
Lama-lama, manusia ini jadi punya sifat ghaib pada situasi tertentu. Sebagaimana yang udah secara bolak-balik gue bahas. Ketika orang lain butuh, kita berasa punya kewajiban untuk selalu hadir, walaupun keadaan sangat tidak memungkinkan kita untuk hadir. Dan giliran minta tolong, yang dimintain tolong malah nyebelin dan bersikap tidak mau membantu.
Pertemanan itu nggak dinilai dari seberapa banyak hal yang bisa lo bantu sampai masalah itu kelar 100%. Mereka nggak punya kewajiban dong buat menyelesaikan masalah yang menjadi tanggung jawab individu lain. Kalimat 'saling membantu' juga sering disalah artikan. Kebanyakan orang kalau ngeliat temannya baik dikit, suka langsung disiasatin macem-macem. Berteman ini nggak cuma saling bantu kok. Masih banyak definisi lain yang sebenarnya udah didapetin selama menjalin pertemanan dengan orang lain. Maksain teman-teman untuk selalu hadir , juga nggak bisa. Mereka punya kehidupan masing-masing, punya urusan, sama-sama kudu punya waktu untuk mikirin diri mereka sendiri. Hidup itu nggak selalu soal Gue.
3. Gue yang nggak bisa membantu 'teman-teman' (?)
Soal membantu, ini tergantung dengan kemampuan gue. Gue bukan tipikal orang yang bakalan maksain membantu kalau gue sendiri pun nggak bisa nge-handle masalah itu di hidup gue. Tapi gue bakalan berusaha semaksimal mungkin buat bantu, walaupun hanya sebagai pendengar setia.
Rasanya, gue pernah berada pada posisi di mana gue jadi nggak deket lagi sama seorang teman, hanya karena gue nggak bisa bantu. Jadi misalnya, kalau ada tugas, terus dia cerita soal kendala-kendalanya, gue cuma bisa ngasih saran yang sekiranya bisa dia pakai. Dan mungkin, karena dia ngerasa percuma untuk cerita kesulitannya tentang ini dan itu, dia jadi bersikap agak beda. Yang gue perhatiin, dia udah nemuin orang lain yang bisa membantunya secara maksimal. Misalnya pas dia lagi butuh untuk bikin suatu file tugas, dan dapet kendala teknis, ada orang lain yang mau ngerjain tugasnya itu secara penuh sehingga dia bisa terima bersih. Awalnya gue nggak begitu peduli sama hal itu. Tapi setelah beberapa waktu terakhir yang gue lalui bersama teman-teman lainnya (termasuk dia), hal yang gue perhatiin tuh emang begitu adanya. Semua prasangka gue jadi benar-benar terjadi pada persahabatan gue dengan dia. Terlihat di pertemuan terakhir di tengah pandemi, gue sama dia nggak ngobrol tentang apapun. Nggak seheboh dulu pas masih sekolah, di mana kalau udah kelar libur semester, terus ketemu di kelas tuh langsung excited meluk saking kangennya. Sayang banget, hal itu udah nggak terjadi lagi di pertemuan kemarin.
Dari kejadian ini, gue sadar akan satu hal. Ternyata nggak semua sahabat bakalan selamanya nganggap sahabatnya ini sebagai seorang sahabat, kalau dirasa tidak bisa membantu. Jadi, kalau yang namanya sahabat itu harus SELALU bisa membantu ya? Terus kalau nggak bisa bantu, di blakclist sebagai sahabat dong? Hm, mungkin iya, bagi beberapa orang. Tapi gue nggak gitu. Karena gue tau, setiap orang punya batas kemampuannya masing-masing. Dan gue sebagai manusia, nggak bisa dong maksain sahabat gue untuk selalu bisa membantu kesusahan gue. Mereka pun punya urusannya masing-masing, ada banyak tanggung jawab yang harus mereka jalani selain cuma ngebantuin gue. Bisa jadi juga, dengan ketidakmampuannya untuk membantu masalah gue, dia lagi berusaha bangkit dari kesusahannya sendiri supaya bisa bantu orang lain lagi, termasuk gue sebagai sahabatnya.
4. Mungkin gue udah nggak bisa menjadi pendengar yang baik buat dijejelin argumen patah hati?
Kebetulan, gue punya seorang sohib cowok yang kerjanya galauin soal hati mulu. Sebelum persoalan patah hati melanda doi, kita emang nggak akur karena masalah pribadi. Terus tiba-tiba dia dateng dengan 'tergopoh-gopoh' (lebay, maap). Ceritalah dia tentang semua yang terjadi sampe akhirnya dia galau dengan awet. Oke, yang menjadi fokus gue bukanlah cerita galaunya, tapi sikap dia setelah cerita. Itu yang lucu. Jadi, ketika dia udah kelar cerita dengan cara bolak balik dateng ke rumah, dia tiba-tiba hilang seperti ditelan bumi. Terus pernah gue mau nanya sesuatu, tapi jawabannya nggak enak banget, udah mah balesnya cuma 'wkwk' (padahal gue nggak lagi bercanda). Sumpah ya, 'wkwk' itu adalah balasan paling nggak nyambung yang gue terima ketika nanya soal hal yang nggak ada unsur 'lawak' dan unsur lainnya yang harus diketawain. Walaupun gue tau, 'wkwk' itu bukanlah salah satu ekspresi tertawa kalau lagi chat. Yang menurut gue lucu adalah sikapnya. Pas dia butuh telinga gue buat ngedengerin curhatannya, gue kudu banget menyanggupi. Giliran gue yang butuh dibantu sama dia? Boro-boro ngasih tau apa yang gue minta bantu, pas gue baru manggil namanya lewat chat aja, balasannya udah kayak yang ogah ngewaro. Udah gitu balesnya singkat-singkat lagi (biasanya juga gapernah). Dan yang paling bikin gue sebel adalah ketika gue mencoba buat mengutarakan masalah, dia malah bales 'wkwk' doang. How funny you are, dude.
Well, gue sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi nilai pertemanan, masih agak sebel ketika mendapati orang-orang yang perlakuin teman, kayak alat/ barang. Gue juga sebel dengan keberadaan teman yang berlebihan dalam hal menghubungi. Gue juga sampai detik ini masih nggak ngerti dengan kata Sebutuhnya. Karena siapa yang tau tentang kapan kita butuh atau nggak butuh? Teman-teman harus nerawang, gitu? Supaya bisa memprediksi; Oh, besok dia bakalan butuh aku. Jadi aku harus luangin waktu. Gitu? Iya? Nggak kan. Ya beda cerita kalau lo emang benar-benar minta bantuan secara verbal maupun lisan, tapi nggak diwaro sama sekali, ya harap sabar aja.
Lama-lama, manusia ini jadi punya sifat ghaib pada situasi tertentu. Sebagaimana yang udah secara bolak-balik gue bahas. Ketika orang lain butuh, kita berasa punya kewajiban untuk selalu hadir, walaupun keadaan sangat tidak memungkinkan kita untuk hadir. Dan giliran minta tolong, yang dimintain tolong malah nyebelin dan bersikap tidak mau membantu.
Pertemanan itu nggak dinilai dari seberapa banyak hal yang bisa lo bantu sampai masalah itu kelar 100%. Mereka nggak punya kewajiban dong buat menyelesaikan masalah yang menjadi tanggung jawab individu lain. Kalimat 'saling membantu' juga sering disalah artikan. Kebanyakan orang kalau ngeliat temannya baik dikit, suka langsung disiasatin macem-macem. Berteman ini nggak cuma saling bantu kok. Masih banyak definisi lain yang sebenarnya udah didapetin selama menjalin pertemanan dengan orang lain. Maksain teman-teman untuk selalu hadir , juga nggak bisa. Mereka punya kehidupan masing-masing, punya urusan, sama-sama kudu punya waktu untuk mikirin diri mereka sendiri. Hidup itu nggak selalu soal Gue.
Lingkaran pertemanan yang awalnya luas. Punya teman banyak banget, berasa punya umat karena follower bejibun, nggak semuanya bakalan bertahan. Lama-lama, Tuhan menunjukkan ke kita tentang orang mana yang layak untuk lo jaga, lo perjuangkan, dan lo beri pengorbanan. Tuhan juga perlahan mulai menunjukkan satu persatu sikap yang bisa bikin kita mikir, merenung, buat memilih dan memilah, mana orang yang pantas buat menjadi bagaian saat sudah berada di atas, dan selalu mengingatkan tentang perjuangan saat masih di bawah. Tuhan bakalan ngasih wujud manusia-manusia berhati baik yang benar-benar mau menemani perjuangan dari nol. Yang mau mengulurkan tangan buat ngebantu lo bangkit kalau jatuh. Yang mau ngebimbing lo ketika merangkak. Yang nggak penuh dengan toxic. Yang kerjanya bukan cuma ngebagus-bagusin lo doang, tapi mereka berani ngasih tau hal lain yang sekiranya harus lo perbaiki, walaupun mungkin suka agak nggak enak.

Komentar
Posting Komentar