Langsung ke konten utama

ANTARA CURHAT DAN NGELUH

What's wrong with human? Ketika seseorang meminta waktu secara sukarela untuk sekadar menjadi pendengar, namun selama obrolan berlangsung, respon yang dikasih sama si pendengar itu kayak; Ya udah sih, jalanin aja/ Yang sabar ya lo, etc, makin banyak dipraktekin oleh banyak orang. Emang sih nggak ada yang salah dengan beberapa contoh respon yang gue tulis tadi. Tapi yang salah adalah ketika si pendengar ngasih 'buntut' di ujung kalimat itu; Ya udah sih, nggak usah ngeluh/ Jalanin aja, lo ngeluh terus deh. 

Like, WHAT?

Dear, Human...
Bisa nggak sih kalian membedakan mana curhatan dan mana keluhan? Udah gitu, dengan kesalah pahaman para manusia yang buta akan perbedaan curhatan dan keluhan ini, ada beberapa yang menyatakan di saat yang tidak tepat. Saat orang yang lagi bercerita emang benar-benar butuh seorang pendengar. Literally, orang yang jadi lawan bicaranya tuh cuma butuh ngedengerin aja unek-unek orang itu. Paham nggak? Jadi pendengar, bukan menjadi komentator. Seiyanya emang ada yang perlu ditanggapi, ya tanggapilah dengan kalimat yang baik, kalimat yang nggak ngebuat si pencerita menjadi ngerasa insecure gara-gara lo bilang; Nggak usah ngeluh! Coy, dia tuh lagi cerita, bukan ngeluh.

Terkadang, manusia tuh nggak mengerti dengan keadaan manusia lain. Mereka nggak paham apa yang dijalani oleh manusia lain, dan juga punya sikap nggak mau tau dengan urusan orang lain (kalo yg ini, gue juga gitu.) Dan manusia benar-benar nggak perlu tau segalanya tentang urusan manusia lain. Tapi, bisakah manusia lebih bijak dalam bersikap? Disaat ada seorang teman meminta waktu sebentar karena orang itu butuh didengerin, ya udah, dengerin aja. Walaupun lo nggak ngerti-ngerti amat sama masalahnya. Tapi dengan cara mendengarkan dia baik-baik, dan nggak nge-judge macem-macem, orang yang bercerita tuh udah sangat merasa dihargai. Nggak perlu lo ngerespon sampe kayak seorang motivator, lo juga nggak perlu berbicara panjang lebar kalo ujung-ujungnya lo bilang; Ya intinya sih, jalanin aja apa yang udah ada. Nggak usah ngeluh terus. 

-_-

Gue ngga bilang kalo manusia harus ngasih respon yang sifatnya membangun, atau sok simpati. Karena jujur, toxic positivity itu emang nggak guna. Mau kata-kata lo sebijak apapun, kalo emang dasarnya lagi down, dan kondisinya dia membutuhkan seorang pendengar, ya cukup sediain aja waktu dan telinga lo buat ngedengerin ceritanya. Nggak ngerti aja, orang cerita dibilang ngeluh, minta waktu buat cerita malah dibilang caper.

So, please... Buat yang masih hobi ngasih label ke yang lagi cerita sebagai 'tukang ngeluh,' stop it. Ada tindakan yang jauh lebih baik ketimbang lo terpaksa buat di samping orang butuh pendengar. Yaitu, jujur. Kalo emang lo nggak kepingin buat dengerin ceritanya, entah itu karena lo sibuk, atau bahkan lo ngerasa nggak kuat dan sadar diri karena nggak kuat dengerin orang curhat dengan waktu yang mungkin lama, ya bilang. Jangan sampe, ketidak-inginan lo untuk menjadi pendengar malah berdampak pada sikap yang lo tunjukkin ke orang yang lagi cerita, dengan masang muka bete, dengerin sambil main hp ( agak gimana aja gitu, lagi ngobrol tapi main hp. )

Jatuhnya sih jadi ke soal respect. Sikap menghargai tuh nggak melulu ke orang tua. Tapi juga ke sesama, mau itu ke yang seumur, lebih muda, saling menghargai itu emang penting kan? Nggak peduli lo harus menghargai ke orang kayak apa, karena menghargai itu nggak pandang bulu. Jadi intinya, sekiranya apa yang mau lo ucapin, ketika menjadi seorang pendengar, dirasa tidak tepat atau mungkin lo nggak terlalu paham dengan masalah yang baru aja diceritain, ya udah respon seadanya. Nggak perlu bertingkah sok bijak, apalagi ngerasa hidup lo lebih berat daripada hidup orang yang lagi cerita. Karena jujur, lo juga bakal muak kali, kalo lagi cerita terus direspon yang 'kayak gitu'?

Berusaha menempatkan diri itu penting. Biar tau situasi, kapan lo bisa bersikap receh dan kapan lo pantes buat menggunakan mulut lo untuk berbicara.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa harus seberisik ini?

Hai! Ya ampun, gue harus tiup debu dulu deh di sini💨 Udah berapa lama gue membiarkan blog ini terbengkalai dan nyaris angker saking seringnya gue tinggalin? Tapi ya udah lah ya, yang penting sekarang gue nulis lagi di sini walaupun isi tulisannya nggak jauh dari curhat.  Btw, curhatan gue sekarang mengingatkan gue pada lagu 00.00 O'clock-nya BTS. Dari awal dengerin pas masa-masa persiapan UTBK, lagu itu masih relate banget sama gue sampai sekarang.  Oke skip! Akhir-akhir ini, gue ngerasa senang banget dengan dunia perkuliahan yang gue jalani. Setelah mulai offline  sejak tanggal 5 lalu, gue jadi ngerasa hari-hari gue tuh produktif banget. Dengan jadwal kuliah dari hari senin sampai sabtu (jum'at kosong), gue jadi bisa memaksimalkan waktu yang gue punya untuk mengerjakan ini dan itu. Ditambah lagi gue punya tanggung jawab lain di organisasi luar yang walaupun nggak sibuk-sibuk amat, tapi setidaknya gue jadi bisa memakai waktu selama enam hari penuh di setiap minggunya unt...

PKL

Jika gue bisa memilih untuk hidup jadi orang kaya atau sederhana, gue pasti akan milih untuk terlahir di keluarga kaya raya. Karena dengan begitu, uang di rekening gue bisa terisi setiap bulan berkat ditransferin ortu. Dan yang pasti, gue nggak perlu merasa khawatir bakalan kena masa galau gara-gara dompet kosong berisi struk pembayaran. Gue juga bisa minta apa aja ke orangtua supaya mereka mau nurutin apapun yang gue mau, termasuk buat belajar ke luar negeri.  Kalau gue dikasih hidup sebagai orang yang bergelimang harta, nggak lain dan nggak bukan, udah pasti uang itu gue pakai untuk sekolah. Entah itu belajar bahasa di masing-masing negara yang bahasanya ingin gue pelajari, mengikuti berbagai kegiatan pertukaran pemuda ke negara lainnya, atau sekadar jalan-jalan buat menuhin paspor dengan Visa Schengen. Ya intinya, gue mau supaya kelebihan materi itu bisa gue manfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri gue sebagai perempuan. Setelah gue selesai membekali diri dengan kualitas dan ...

Dear, Me

San, tulisan ini sengaja dibuat sebagai pengingat untuk diri kamu. Diri kamu yang selalu dikurung oleh rasa takut. Meski begitu, aku tetap salut karena diri kamu selalu yakin sama pilihan kamu, segila apapun itu. Diri kamu nggak pernah mau nyerah sama keadaan. Dan yang lebih penting, diri kamu selalu percaya dengan maksud baik Tuhan dari segala hal pahit yang terjadi.  Sekarang, mungkin kamu masih belum menemukan titik terang tentang ke mana kamu akan membawa diri dan masa depan. Kamu masih nggak tau, harus milih jalan A atau B. Kamu masih bingung untuk lanjut di jalan yang sekarang lagi kamu jalanin atau pindah ke jalan baru yang lagi kamu usahakan. Semua itu emang nggak mudah, tapi aku tau kamu udah berusaha. Urusan hasilnya ... biar Tuhan aja yang tentuin. Dia lebih tau mana yang terbaik buat kamu.  San, aku tau kalau ketakutan terbesar kamu adalah tidak menjadi apa-apa di masa depan. Bahkan mungkin ketakutan itu semakin menjadi-jadi sekarang, ketika apa yang kamu jalani ng...