Langsung ke konten utama

Kenapa Nggak Boleh?


Semakin bertambah usia, topik pembicaraan yang orang lain kasih ke gue juga makin naik level. Yang asalnya cuma nanya soal nilai hasil Ujian Nasional, sekarang jadi tentang rencana gue ke depan, khususnya setelah lulus dari SMK. Sebenarnya, masih ada pertanyaan umum yang dikasih, seperti; Kamu mau lanjut kuliah? atau langsung kerja? Dan pasti aku jawab; Ya kalau masuk PTN, kuliah. Tapi kalau nggak, kerja sambil kuliah. Terus ada lagi yang nanya; Mau banget kuliah, Neng? Dan gue jawab; Iya, pingin sampe S2, sih. Pada awalnya, emang nggak ada yang salah dengan orang-orang yang ngobrol tentang itu ke gue. Tapi makin sini, mulai ada tuh celetukan orang-orang; baik bapa-bapa, atau ibu-ibu, tua/muda, yang bilang; Ah, cewek mau gimana juga ujung-ujungnya cuma di dapur. Dan parahnya lagi ada yang menyatakan tentang betapa percumanya gue yang punya cita-cita untuk punya pendidikan Master di bidang yang udah gue tentuin. Ya gue kesel aja gitu, emangnya cewek nggak boleh ya punya cita-cita? Meskipun cita-cita gue cuma pingin sekolah tinggi?

Yang asalnya gue menganggap semua itu sebagai angin lalu, tapi makin lama mulut gue jadi gatel pingin membantah pendapat mereka. Tapi dengan cara yang baik, nggak langsung emosi. Misalnya; pas lagi ngobrol dan kebetulan lawan bicara gue  ngomongin pendapat 'menjengkelkan' itu, gue akhirnya memutuskan untuk balik nanya; 'Emangnya cewek harus selalu ada di dapur ya? ' Atau; Nggak boleh punya cita-cita dan menyerah dengan status pernikahan yang mereka bilang 'mentok' jadi IRT. Lagi-lagi jawaban lawan bicara gue yang nyebelin banget; Ya ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya setelah menikah jadi IRT? Gelar Master kamu mau di kemanain? Lagian kan yang cari nafkah itu Suami, terus anak sama suami gimana kalau kamu jadi wanita karir? Atau; Istri yang shalehah itu kan diem di rumah, ngurus anak, ngurus suami, dan lain-lain. Fix, gue muak dengan semua omongan itu. Jujur, gue ngerasa objektifikasi terhadap perempuan, khusunya di Indonesia jadi makin parah. Kenapa gue bilang makin parah? Karena dulu, sebelum gue ngeh sama keadaan, orang-orang itu hanya mengidentikkan cewek sebagai sosok yang harus ramah, murah senyum, dan harus rajin ( bangun pagi, nggak boleh jorok ). Tapi sekarang? Hm... lama-lama, cewek bisa dipandang sebagai sosok yang cuma bisa masak, ngelahirin, melayani suami, dan jadi IRT.

Pertanyaan gue, apakah yang berhak untuk memiliki karir, punya pendidikan tinggi, atau pun bercita-cita hanya boleh dimiliki oleh kaum laki-laki? Sementara cewek nggak boleh, gitu? Apa salah ya, kalau cewek punya pendidikan tinggi? Kan udah pada tau, kalau ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Kalau kata kak Munawir sih; Guru PAUD aja harus S1, apalagi jadi ibu yang bakalan mendidik dan tanggung jawabnya seumur hidup? Lagian kenapa ya, budaya patriarki di sini masih berlanjut? Kurang setuju aja gitu sama budaya ini. Cara pandangnya itu loh, bikin gedek

Sebagai cewek, gue merasa ini tidak adil. Seakan-akan wanita karir itu nggak bisa memegang tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dengan baik, mendidik anak, atau pun ngurus rumah tangga. Lagian, nggak semua pendapat orang-orang itu benar atau sesuai dengan realitanya. Buktinya, banyak wanita karir yang bisa menjadi ibu hebat bagi anak-anaknya. Keliatan gitu hasil didikkannya. Walaupun semua ini ya tetap balik lagi ke manusianya masing-masing.

Gue sempat iseng nanya ke temen-temen cowok yang gue punya, tentang pendapat mereka soal ini. Gue juga nanya tentang apakah mereka para cowok, bakalan ngerasa minder kalau punya pasangan yang jenjang pendidikannya lebih tinggi dari mereka? Jujur, jawaban mereka luar biasa sih menurut gue. Rata-rata, masing-masing dari mereka memiliki pendapat yang ngebuat gue ngerasa bisa bernapas lega. Jadi, mereka bilang kalau justru tipikal cewek yang cerdas dan berpendidikan adalah salah satu aspek utama yang mereka jadikan acuan dalam memilih pasangan. Mereka juga bilang, bahwa mereka sama sekali nggak ngerasa minder gara-gara si cewek punya gelar lebih tinggi dari mereka. Aaa.... seneng banget:')

Dalam pandangan gue, wanita karir atau wanita yang berpendidikan itu adalah salah satu poin plus selain agama yang selama ini dijadikan sebagai tolak ukur manusia dalam memilih pasangan hidup. Gue sih suka nyadarin diri sendiri aja, misalnya; " San, kalau lo nggak cantik dan nggak seanggun cewek-cewek kebanyakan, maka lo harus punya kelebihan yang bikin orang mau memperjuangkan lo! ". Ya kira-kira begitu sih, hehe. Belum lagi emak gue selalu bilang; " Kalau kamu mau dapetin cowok yang mapan, baik, cerdas, dan shaleh, ya kamu sendiri yang harus benerin diri duluan. Emangnya cowok perfect bakalan milih cewek yang nggak bener?( nggak berpendidikan, etika nggak dijaga, dll ) Kan nggak? " Dari situ gue sadar, betapa pentingnya memperbaiki diri.

Jadi ngelantur deh...

Jadi poinnya adalah, berhenti buat mengobjektifikasi cewek. Karena gue pribadi dan juga cewek-cewek di luar sana, itu punya cita-cita lain, lebih dari sekadar menjadi seorang istri yang tinggal duduk manis di rumah, ngurus anak, masak, nunggu suami balik kerja, dan lain-lain. Tapi kita juga ingin memperjuangkan apa yang dicita-citakan. Dan lagi, kalau bisa budaya Patriarkinya di-stop deh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa harus seberisik ini?

Hai! Ya ampun, gue harus tiup debu dulu deh di sini💨 Udah berapa lama gue membiarkan blog ini terbengkalai dan nyaris angker saking seringnya gue tinggalin? Tapi ya udah lah ya, yang penting sekarang gue nulis lagi di sini walaupun isi tulisannya nggak jauh dari curhat.  Btw, curhatan gue sekarang mengingatkan gue pada lagu 00.00 O'clock-nya BTS. Dari awal dengerin pas masa-masa persiapan UTBK, lagu itu masih relate banget sama gue sampai sekarang.  Oke skip! Akhir-akhir ini, gue ngerasa senang banget dengan dunia perkuliahan yang gue jalani. Setelah mulai offline  sejak tanggal 5 lalu, gue jadi ngerasa hari-hari gue tuh produktif banget. Dengan jadwal kuliah dari hari senin sampai sabtu (jum'at kosong), gue jadi bisa memaksimalkan waktu yang gue punya untuk mengerjakan ini dan itu. Ditambah lagi gue punya tanggung jawab lain di organisasi luar yang walaupun nggak sibuk-sibuk amat, tapi setidaknya gue jadi bisa memakai waktu selama enam hari penuh di setiap minggunya unt...

PKL

Jika gue bisa memilih untuk hidup jadi orang kaya atau sederhana, gue pasti akan milih untuk terlahir di keluarga kaya raya. Karena dengan begitu, uang di rekening gue bisa terisi setiap bulan berkat ditransferin ortu. Dan yang pasti, gue nggak perlu merasa khawatir bakalan kena masa galau gara-gara dompet kosong berisi struk pembayaran. Gue juga bisa minta apa aja ke orangtua supaya mereka mau nurutin apapun yang gue mau, termasuk buat belajar ke luar negeri.  Kalau gue dikasih hidup sebagai orang yang bergelimang harta, nggak lain dan nggak bukan, udah pasti uang itu gue pakai untuk sekolah. Entah itu belajar bahasa di masing-masing negara yang bahasanya ingin gue pelajari, mengikuti berbagai kegiatan pertukaran pemuda ke negara lainnya, atau sekadar jalan-jalan buat menuhin paspor dengan Visa Schengen. Ya intinya, gue mau supaya kelebihan materi itu bisa gue manfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri gue sebagai perempuan. Setelah gue selesai membekali diri dengan kualitas dan ...

Dear, Me

San, tulisan ini sengaja dibuat sebagai pengingat untuk diri kamu. Diri kamu yang selalu dikurung oleh rasa takut. Meski begitu, aku tetap salut karena diri kamu selalu yakin sama pilihan kamu, segila apapun itu. Diri kamu nggak pernah mau nyerah sama keadaan. Dan yang lebih penting, diri kamu selalu percaya dengan maksud baik Tuhan dari segala hal pahit yang terjadi.  Sekarang, mungkin kamu masih belum menemukan titik terang tentang ke mana kamu akan membawa diri dan masa depan. Kamu masih nggak tau, harus milih jalan A atau B. Kamu masih bingung untuk lanjut di jalan yang sekarang lagi kamu jalanin atau pindah ke jalan baru yang lagi kamu usahakan. Semua itu emang nggak mudah, tapi aku tau kamu udah berusaha. Urusan hasilnya ... biar Tuhan aja yang tentuin. Dia lebih tau mana yang terbaik buat kamu.  San, aku tau kalau ketakutan terbesar kamu adalah tidak menjadi apa-apa di masa depan. Bahkan mungkin ketakutan itu semakin menjadi-jadi sekarang, ketika apa yang kamu jalani ng...