Langsung ke konten utama

KALAU CEWEK DOSA, COWOK JUGA DONG?


Kali ini gue pingin banget bahas soal dosa yang ditujukan kepada  seorang cewek yang bekerja, alias wanita karir. Soalnya, waktu itu, pas gue lagi asik-asiknya scrolling instagram, tiba-tiba gue nemu sebuah postingan yang isinya adalah tulisan tentang dosa-dosa cewek yang kerja di luar rumah, diantaranya; dosa karena menatap rekan kerja lawan jenis, dosa karena berjabat tangan dengan tamu atau sesama kolega, dan dosa karena posisi duduk si cewek yang berdekatan atau bersebelahan dengan rekan kerja cowok. Gue pas baca agak ngerasa bingung.

Seketika hati gue seolah memprotes; Kok yang dosa cewek doang? Emang cowok nggak?

Kenapa gue bilang seperti itu? Ya karena gue ngerasa heran, kenapa yang dicap dosa itu cuma cewek? Terus apa kabar dengan cowok yang udah  jadi suami? Tugas dia kan cari nafkah, dan yang namanya lingkungan kerja itu nggak bakalan jauh dari kegiatan-kegiatan di atas ( salaman, duduk bersebelahan, ngobrol sambil natap ). Kalau itu semua dosa, berarti cowok juga dapet dosa yang sama dong dengan cewek yang kerja? Heran aja gitu, kok bisa sih manusia ngelimpahin semua dosa-dosa itu ke cewek? Dan lucunya, tanpa melihat ke arah lawan jenis ( cowok ) yang menurut gue dan pada umumnya juga melakukan hal yang sama ketika bekerja. 

Bukan maksud gue untuk membantah aturan agama yang udah ditentuin ya. Tapi gue cuma merasa heran, saking herannya jadi lucu dan saking lucunya gue jadi kesel. Sebenarnya, semua aturan islam adalah aturan yang sangat menjaga, terlebih terhadap wanita. Gue juga paham betul, betapa islam sangat memuliakan wanita, dengan adanya perintah untuk menutup aurat aja, gue bisa ngerasain kasih sayang Allah yang luar biasa. Islam adalah agama yang sempurna. Karena aturan-aturan islam sangatlah memudahkan hamba-Nya. Tapi tidak dengan umatnya, yang punya hobi untuk ngatain kafir ke sesama muslim yang bisa dibilang nggak melaksanakan ajaran-Nya ( tidak berkerudung misalnya ). Padahal orang yang dikatain tuh rajin shalat, rajin ngaji, cuma karena dia nggak ngelakuin ibadah di depan orang yang ngatain dia. Hmm... Bahkan gara-gara pola pikir si A yang bodo amat sama LGBT pun, dianggap menganut paham liberal dan sebutan kafir udah pasti sering dilontarin sama orang-orang yang menurut gue ekstrem. Padahal, kalau ada yang LGBT kita harus ngapain? Harus caci maki? Gimana ceritanya kalau sahabat kita yang paling baik, paling care, terus dia ngaku kalau dia punya kelainan dalam ketertarikan terhadap sesama jenis, apakah kita sebagai sahabatnya akan langsung menjauhi dan memberi hukuman sosial kepada dia? Apa kita dengan mudahnya melupakan semua kebaikannya yang luar biasa, lalu membalasnya dengan kebencian yang sama luar biasanya juga? Kan nggak begitu caranya.

Pertama; Saling berjabat tangan dengan tamu yang bukan mahromnya 
Gini loh ya, sebenarnya untuk yang satu ini tuh bisa diminimalisir. Kita bisa menolak untuk diajak salaman sama lawan jenis yang nggak halal buat kita, para cewek. Yang bikin gue nggak setuju adalah; emangnya yang dapet dosa gara-gara salaman dengan lawan jenis cuma cewek aja? Kan nggak. Apa kabarnya dengan cowok yang selalu salaman dengan tamunya di kantor? Sebenarnya, yang bikin gue nggak setuju bukanlah dari tingkah yang menimbulkan dosa. Tapi dari objek yang 'dapet' dosanya ini. Kenapa? Karena yang dijadikan sebagai objek dosa itu adalah si cewek, bukan si cowok, yang padahal sama dosanya kalau ngelakuin hal yang sama. 

Kedua; Tidak menundukan pandangan, saling menatap ketika berbicara
Hm... Yang ini nih. Sebenarnya gue juga pro dan kontra dengan ini. Tapi kalau merujuk pada nilai kesopanan atau etika dalam berkomunikasi sih, ya jelas nggak sopan kalau salah satu dari pembicara matanya  ngelantur ke mana-mana pas diajak ngobrol. Kalau interview juga gitu, selama berargumen ke si interviewer, mata harus selalu fokus menatap pada lawan bicara, karena emang gitu etikanya. Lagian gue pribadi juga suka kesel sama orang yang kalau diajak ngomong tuh matanya ke mana aja. Berasa nggak diperhatiin. Dan kesannya tuh, orang yang gue ajak ngomong, ngerasa nggak tertarik dengan apa yang lagi gue omongin.
Mau nanya dong, kenapa sih yang disuruh untuk selalu menundukan pandangan itu hanya seorang cewek? Walaupun gue akui, aturan agama emang memerintahkan semuanya untuk menjaga pandangan. Tapi kok makin sini yang gue perhatiin, kenapa semuanya jadi cewek yang harus seperti itu?

Ketiga; Duduk bersebelahan dengan rekan kerja lawan jenis
Sebenarnya, untuk soal duduk itu menurut gue nggak ada masalah. Karena ya... mau duduknya bersebelahan kek, atau berhadap-hadapan pun, asalkan orangnya sama-sama bisa saling menjaga diri, tau batasan, Insya Allah nggak bakalan kenapa-kenapa. Lagian kalau di kantor, semepet-mepetnya duduk pun nggak sampe nempel skin to skin kan? Beda lagi kasusnya dengan orang yang sama-sama kegatelan, walaupun duduknya berjauhan, tapi kalau dasarnya emang ganjen ya gimana, tetep aja nempel.

Jadi, semua hal yang di atas, tidak sepenuhnya dilimpahkan ke si cewek. Kalau merujuk ke persoalan agama sih ya memang iya, tapi kan peraturan agama itu berlaku buat semua umat manusia. Bukan berlaku buat cewek doang. Begitupun soal dosa, kalau ngelanggar, ya dosa, bukan cuma salah satu yang kena, tapi dua-duanya, mau cewek atau pun cowok, salah ya dosa. Awalnya gue biasa aja dengan semua itu, toh gue pikir itu semua balik lagi individunya. Tapi ya pas diperhatiin, ada hubungannya juga dengan objektifikasi terhadap perempuan. Walaupun aturan untuk menundukkan pandangan itu berlaku bagi semua umat islam, tapi keseringan yang disuruh tuh ya cewek, kalau cowok? Matanya mau lirik kanan kiri juga dibiarin, bahkan pada ngerasa; nggak ada yang salah dengan itu.

?????

Pada tulisan ini, gue nggak bermaksud untuk menghalalkan yang haram. Tapi hanya sekadar memberi sudut pandang sendiri terkait persoalan ini. Gue juga sama sekali nggak bermaksud untuk membantah apa yang sudah ditetapkan agama. Karena menurut gue, agama adalah urusan manusia dan Tuhan-Nya ( mau dia begimana juga kan itu masalah dia ). Tapi di sini, gue hanya berpendapat tentang manusianya. Juga budaya patriarki yang masih aja nempel bahkan makin erat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa harus seberisik ini?

Hai! Ya ampun, gue harus tiup debu dulu deh di sini💨 Udah berapa lama gue membiarkan blog ini terbengkalai dan nyaris angker saking seringnya gue tinggalin? Tapi ya udah lah ya, yang penting sekarang gue nulis lagi di sini walaupun isi tulisannya nggak jauh dari curhat.  Btw, curhatan gue sekarang mengingatkan gue pada lagu 00.00 O'clock-nya BTS. Dari awal dengerin pas masa-masa persiapan UTBK, lagu itu masih relate banget sama gue sampai sekarang.  Oke skip! Akhir-akhir ini, gue ngerasa senang banget dengan dunia perkuliahan yang gue jalani. Setelah mulai offline  sejak tanggal 5 lalu, gue jadi ngerasa hari-hari gue tuh produktif banget. Dengan jadwal kuliah dari hari senin sampai sabtu (jum'at kosong), gue jadi bisa memaksimalkan waktu yang gue punya untuk mengerjakan ini dan itu. Ditambah lagi gue punya tanggung jawab lain di organisasi luar yang walaupun nggak sibuk-sibuk amat, tapi setidaknya gue jadi bisa memakai waktu selama enam hari penuh di setiap minggunya unt...

PKL

Jika gue bisa memilih untuk hidup jadi orang kaya atau sederhana, gue pasti akan milih untuk terlahir di keluarga kaya raya. Karena dengan begitu, uang di rekening gue bisa terisi setiap bulan berkat ditransferin ortu. Dan yang pasti, gue nggak perlu merasa khawatir bakalan kena masa galau gara-gara dompet kosong berisi struk pembayaran. Gue juga bisa minta apa aja ke orangtua supaya mereka mau nurutin apapun yang gue mau, termasuk buat belajar ke luar negeri.  Kalau gue dikasih hidup sebagai orang yang bergelimang harta, nggak lain dan nggak bukan, udah pasti uang itu gue pakai untuk sekolah. Entah itu belajar bahasa di masing-masing negara yang bahasanya ingin gue pelajari, mengikuti berbagai kegiatan pertukaran pemuda ke negara lainnya, atau sekadar jalan-jalan buat menuhin paspor dengan Visa Schengen. Ya intinya, gue mau supaya kelebihan materi itu bisa gue manfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri gue sebagai perempuan. Setelah gue selesai membekali diri dengan kualitas dan ...

Dear, Me

San, tulisan ini sengaja dibuat sebagai pengingat untuk diri kamu. Diri kamu yang selalu dikurung oleh rasa takut. Meski begitu, aku tetap salut karena diri kamu selalu yakin sama pilihan kamu, segila apapun itu. Diri kamu nggak pernah mau nyerah sama keadaan. Dan yang lebih penting, diri kamu selalu percaya dengan maksud baik Tuhan dari segala hal pahit yang terjadi.  Sekarang, mungkin kamu masih belum menemukan titik terang tentang ke mana kamu akan membawa diri dan masa depan. Kamu masih nggak tau, harus milih jalan A atau B. Kamu masih bingung untuk lanjut di jalan yang sekarang lagi kamu jalanin atau pindah ke jalan baru yang lagi kamu usahakan. Semua itu emang nggak mudah, tapi aku tau kamu udah berusaha. Urusan hasilnya ... biar Tuhan aja yang tentuin. Dia lebih tau mana yang terbaik buat kamu.  San, aku tau kalau ketakutan terbesar kamu adalah tidak menjadi apa-apa di masa depan. Bahkan mungkin ketakutan itu semakin menjadi-jadi sekarang, ketika apa yang kamu jalani ng...