Langsung ke konten utama

TENTANG BERISLAM

Menjadi seorang yang beragama ternyata memang memiliki banyak imbas positif. Baik itu kebaikan untuk konsumsi jasmani dan rohani. Gue setuju banget dengan pendapat tentang pentingnya menjadi taat. Karena memang pada dasarnya, kita sebagai manusia diciptakan untuk tunduk pada segala perintah illahi dan menjalankannya dengan ikhlas. Tanpa ada penyakit hati, seperti ria, sombong, dan lainnya. Menjadi orang yang taat bukan berarti menarik diri dari lingkungan sosial. Islam nggak pernah memberi perintah kepada umatnya untuk berhenti bersosialisasi, berhenti bermimpi, berhenti melihat dunia.

Di negara kita, muslim adalah mayoritas. Tapi ada kepercayaan lain yang dipeluk oleh sesama warga di negeri ini. Indonesia tuh emang beragam. Entah itu beragam keyakinannya, beragam warna kulitnya, beragam bahasanya, dan beragam adatnya. Melihat betapa heterogennya negeri ini, udah seharusnya dong, bagi kita, sebagai warga negara untuk terus bertoleransi. Untuk menjadi sosok yang open minded, dan tidak merasa menjadi yang 'paling benar.' Kenapa gue singgung kalimat ' paling benar?' Itu karena selama ini, populasi orang yang menganggap dirinya lebih sempurna, imannya lebih kokoh, dan ngerasa alim luar dalem, semakin banyak.

Zaman sekarang, khususnya di negeri ini, gerakan hijrah emang lagi berjamur di mana-mana, which is a good movement, karena untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta, dan mengajak orang lain untuk ikut taat merupakan perbuatan yang sangat baik. Gue juga setuju dengan gerakan itu. Hanya saja, ada beberapa orang yang gue kenal, ada yang sampai menganut prinsip 'ekstrim.' Yang mana ini terlalu berlebihan. Seperti yang udah gue bilang di paragraf pertama, menarik diri merupakan salah satu contohnya. Dari orang-orang yang gue kenal, khususnya yang berpakaian Syar'i, beberapa dari mereka memiliki paham yang seperti 'itu.' Sebenarnya, nggak ada yang salah dengan pakaian mereka yang menjuntai ke bawah dan panjangnya kerudung yang mereka kenakan. Hanya saja, sikap yang mereka tunjukkan setelah 'berhijrah' sedikit membuat hati gue bertanya; kok jadi gini sih?

Pada tulisan ini, gue nggak bermaksud untuk mempermasalahkan pakaian yang mereka kenakan. Gue membicarakan sikap yang ternyata berpengaruh dengan cara pandang orang tersebut terhadap hal lain. Gue melihat, adanya rasa tabu terhadap suatu hal yang menurut gue dan orang lain biasa aja. Tapi menurut mereka itu dosa, di larang, dan lain-lain. Gue bukannya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Cuma mau membahas tingkah beberapa orang 'seperti itu.'

Dulu, gue pernah ikutan komunitas muslimah. Itu bukan komunitas kecil, tapi komunitas besar. Walaupun hanya melalui interaksi online, tapi dari situ gue bisa melihat bagaimana mereka. Entah itu lewat snap whatsapp, atau pun melalui perbincangan di grup. Awalnya, gue seneng-seneng aja masuk grup itu. Nambah ilmu juga kan, walaupun ilmu yang gue dapet emang nggak banyak-banyak amat. Tapi, pernah waktu itu gue melihat salah satu postingan statusnya. Dalam status berbentuk video itu menunjukkan tentang cewek bercadar yang genit; megang-megang sikut cowoknya, trus dia sikapnya kayak malu-malu gitu setelah nyapa si cowok yang lewat. Dilihat dari videonya, oke, gue tau ini salah. Tapi, yang lebih salah tuh takarirnya si yang mengunggah video ini. Dari perkataan yang dia tuangkan pada statusnya, gue menangkap bahwa seharusnya kalo cewek dalam video itu telah memutuskan untuk bercadar, maka ia harus bersikap mulia, menjaga pandangan, dan menjaga diri dari pergaulan yang tidak seharusnya dilakukan.

Apa yang bikin gue sebel? Statement mereka. Mereka selalu bilang; menutup aurat secara sempurna itu wajib sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Nggak peduli kamu udah menjadi baik atau belum, tapi menutup aurat itu wajib. Nah, kalo begini berarti mereka harus mengerti dong dengan sikap cewek itu? Walaupun gue akui, apa yang dilakukan cewek tersebut memanglah salah, tapi harusnya, mereka bisa paham bahwa semua orang yang  berkerudung apalagi sampe pake cadar, belum tentu semuanya udah punya akhlak mulia. Kenapa sih nggak berhusnudzan aja? Mungkin dia bercadar sebagai langkah awal bagi dia untuk berhijrah? Dan lagi, setidaknya dia tidak terkena dosa karena mengumbar aurat? Mungkin aja dia masih belum bisa paham atau bahkan masih terbiasa dengan sikapnya yang dulu?- senggol sana sini kalo ke temen cowok, ngobrol sama cowok. Emangnya cewek yang sudah menutup aurat secara sempurna seperti si pengunggah, udah berakhlak semulia apa sih? Mereka pasti pernah kan mengalami proses berhijrah? Nggak tiba-tiba jadi shalehah pas begitu berojol.

Tentang sikap, itu semua adalah proses. Mengikuti lingkungan dan juga kesadaran yang tinggi. Tapi balik lagi sih, mau tuh cewek ngelakuin apapun juga, kalo emang menyimpang, ya emang harus diajak untuk menjadi lurus lagi. Bukan malah dicap macem-macem, bahkan dikasih kalimat-kalimat lainnya yang terkesan kayak liat setan.

Ada kejadian lain yang pernah gue alami. Jadi waktu itu, gue pernah dikomenin gara-gara kerudung gue yang masih lempar kanan kiri. Jadi nggak dipanjangin sampe nutup dada, seiyanya dipanjangin pun, itu nggak sering. Dan gue dikomentarin oleh teman gue. Dia cerita, kalo waktu itu dia pernah bilang ke gurunya bahwa dia punya seorang teman yang tidak berkerudung dengan sempurna ( dan itu adalah gue. ) Lalu dia menyimpulkan hasil diskusinya dengan seorang guru. Dia bilang kalo seharusnya, gue memanjangkan kerudung, bukan dilempar kanan kiri, bukan juga pake kemeja terus bagian lengannya dilinting, itu semua untuk menunjukkan ketaatan gue kepada Yang Maha Kuasa. Sebenernya, gue nggak masalah sih dengan kesimpulan yang dia terangkan. Tapi, apa bentuk ketaatan seseorang hanya diliat dari seberapa panjang kerudungnya ya? Atau seberapa gombrang baju yang dipakai? Kan nggak. Kalo gue pribadi, bentuk ketaatan itu hanya gue dan Tuhan yang tau. Gue merasa punya hak untuk menjadikan diri gue taat seperti apa. Emangnya, mentang-mentang kerudung gue nggak sepanjang dia, itu mengartikan gue nggak taat ya?

Dan lagi. Dulu, gue pernah diomelin sama dia hanya gara-gara gue bersalaman dengan seorang teman laki-laki, yang waktu itu baru aja ditinggal ibunya untuk selamanya. Gue bersalaman sambil bilang; Turut berduka ya. Posisinya, gue salaman di depan temen gue itu. Terus dia langusng bertingkah seperti yang liat setan. Istighfar berkali-kali. Sambil tutup mata. Udah kayak ngeri gitu ngeliat gue bersalaman. Karena heran, ya gue tanya; lo kenapa? Terus dia jawab; aduh kalian kok berani sih salaman kayak gitu? Santai pula. Kalian kan bukan muhrim, aku ngeri liat kalian berdua.

Again, she was making me be like: _-

Gini, maksud dari gue bersalaman kan bukan atas dasar nafsu birahi. Tapi sebagai bentuk penguatan kepada teman gue yang lagi berduka. Gue nggak ada maksud buat menyalahgunakan kesempatan berjabat tangan, karena gue merasa nggak punya niat macem-macem. Terus, melihat sikap  dia yang terlihat ngeri bahkan terkesan jijik, gue jadi risih. Cuy, semua tuh balik lagi ke niatnya masing-masing kali. Gue heran, mesti banget menunjukkan rasa ngerinya di depan kayak gitu.

Gue pernah berbincang tentang pergaulan di zaman sekarang dengan dia. And again, dia menunjukkan rasa ngerinya, karena ngedenger gue yang punya temen cowok banyak, dan udah biasa duduk bersebelahan, ngobrol, main bareng, dan kegiatan pertemanan lainnya yang sebenarnya udah biasa. Terus dia bilang; aku sih risih ya kalo ada cowok yang duduk di sebelah aku/ ih, deket-deket sama cowok, etc. Sebel aja gitu dengan pernyataannya. Emang kenapa sih? Toh sebanyak-banyaknya temen cowok gue, gue nggak pernah tuh berlaku biadab dengan mereka, normal-normal aja, nggak melakukan tindakan melanggar, malah kadang solat berjama'ah kalo lagi main. Lagian kalo lagi kumpul, kegiatan kita bukan ghibahin orang kok, cuma share masing-masing kegiatan, saling ngasih saran, atau sekadar menertawakan hal nggak jelas saking asiknya ngobrol. See? Nggak melakukan tindakan menyimpang kan? Toh selama kumpul, gue dan teman-teman lainnya nggak pernah tuh nempel-nempel, rayu-rayu, atau pegang-pegangan tangan dengan nafsu.

Dari yang gue liat, sekarang banyak banget orang yang mengikrarkan untuk berhijrah, lalu bertingkah seolah menarik diri. Juga merasa alergi dengan majunya zaman. Istighfar-in kelakuan orang di depan orang tersebut, dan bahkan ngecap kafir ke orang yang sekiranya nggak satu pemikiran soal agama. Padahal kan kita hidup sama-sama, udara yang dihirup sama, terus kenapa harus ribut cuma gara-gara berbeda?

Menjadi taat memang sebuah kewajiban bagi umat beragama. Dan bukan kewajiban kita sebagai manusia untuk memberi label taat/ tidak kepada seseorang hanya berdasarkan penampilan atau cara mereka berinteraksi dengan sesama yang mungkin bagi beberapa orang di luar sana 'salah/tidak pantas.' Kita nggak pernah tau, bahwa banyak kebaikan yang orang itu lakukan ketika berada di belakang 'si pemberi label.' Kita bukan Tuhan Yang Maha Tau tentang segala perbuatan hamba-Nya. Bukan pula sebuah pihak yang memiliki hak untuk menilai baik/ buruknya seseorang hanya dari luar. Kita hidup berdampingan, dengan segala perbedaan yang ada, dan perbedaan itulah yang membuat dunia ini penuh warna.

Hhh... Ya udah lah, sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa harus seberisik ini?

Hai! Ya ampun, gue harus tiup debu dulu deh di sini💨 Udah berapa lama gue membiarkan blog ini terbengkalai dan nyaris angker saking seringnya gue tinggalin? Tapi ya udah lah ya, yang penting sekarang gue nulis lagi di sini walaupun isi tulisannya nggak jauh dari curhat.  Btw, curhatan gue sekarang mengingatkan gue pada lagu 00.00 O'clock-nya BTS. Dari awal dengerin pas masa-masa persiapan UTBK, lagu itu masih relate banget sama gue sampai sekarang.  Oke skip! Akhir-akhir ini, gue ngerasa senang banget dengan dunia perkuliahan yang gue jalani. Setelah mulai offline  sejak tanggal 5 lalu, gue jadi ngerasa hari-hari gue tuh produktif banget. Dengan jadwal kuliah dari hari senin sampai sabtu (jum'at kosong), gue jadi bisa memaksimalkan waktu yang gue punya untuk mengerjakan ini dan itu. Ditambah lagi gue punya tanggung jawab lain di organisasi luar yang walaupun nggak sibuk-sibuk amat, tapi setidaknya gue jadi bisa memakai waktu selama enam hari penuh di setiap minggunya unt...

PKL

Jika gue bisa memilih untuk hidup jadi orang kaya atau sederhana, gue pasti akan milih untuk terlahir di keluarga kaya raya. Karena dengan begitu, uang di rekening gue bisa terisi setiap bulan berkat ditransferin ortu. Dan yang pasti, gue nggak perlu merasa khawatir bakalan kena masa galau gara-gara dompet kosong berisi struk pembayaran. Gue juga bisa minta apa aja ke orangtua supaya mereka mau nurutin apapun yang gue mau, termasuk buat belajar ke luar negeri.  Kalau gue dikasih hidup sebagai orang yang bergelimang harta, nggak lain dan nggak bukan, udah pasti uang itu gue pakai untuk sekolah. Entah itu belajar bahasa di masing-masing negara yang bahasanya ingin gue pelajari, mengikuti berbagai kegiatan pertukaran pemuda ke negara lainnya, atau sekadar jalan-jalan buat menuhin paspor dengan Visa Schengen. Ya intinya, gue mau supaya kelebihan materi itu bisa gue manfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri gue sebagai perempuan. Setelah gue selesai membekali diri dengan kualitas dan ...

Dear, Me

San, tulisan ini sengaja dibuat sebagai pengingat untuk diri kamu. Diri kamu yang selalu dikurung oleh rasa takut. Meski begitu, aku tetap salut karena diri kamu selalu yakin sama pilihan kamu, segila apapun itu. Diri kamu nggak pernah mau nyerah sama keadaan. Dan yang lebih penting, diri kamu selalu percaya dengan maksud baik Tuhan dari segala hal pahit yang terjadi.  Sekarang, mungkin kamu masih belum menemukan titik terang tentang ke mana kamu akan membawa diri dan masa depan. Kamu masih nggak tau, harus milih jalan A atau B. Kamu masih bingung untuk lanjut di jalan yang sekarang lagi kamu jalanin atau pindah ke jalan baru yang lagi kamu usahakan. Semua itu emang nggak mudah, tapi aku tau kamu udah berusaha. Urusan hasilnya ... biar Tuhan aja yang tentuin. Dia lebih tau mana yang terbaik buat kamu.  San, aku tau kalau ketakutan terbesar kamu adalah tidak menjadi apa-apa di masa depan. Bahkan mungkin ketakutan itu semakin menjadi-jadi sekarang, ketika apa yang kamu jalani ng...